Minggu, 15 Maret 2009

इनिकः penyesalan

kapankah kaki melangkah?
apakah saat kau berpijak
atau ketika kau tersandung
menyenandung hati dikala sunyi
menagis diri kala sendiri
remuk redam jasad ini
dosa-dosa terus terulangi
oh Tuhan ampunia aku
oh Tuhan lindungi aku
oh Tuhan hantarkan aku
semua tiada,
semua ada,
semua resah
seluruh tentram
lalu kenapa ku jadi bimbang
itu semua karena kurang bimbingan
kumohon ampuni aku
selamatkan aku

लोम selesai

Category: Books
Genre: Nonfiction
Author: Samsikin Abu Daldiri
Bulan Agustus lalu, sekolah anak saya mengharuskan setiap murid menyumbangkan 3 buah buku ke perpustakaan sekolah karena akan ada akreditasi. Saya lalu mencari buku di Gramedia dan memilih buku yang cocok untuk anak-anak SMP.

Menurut anak saya, perpustakaan mereka belum mengoleksi Laskar Pelangi (LP) yang terkenal itu. Waktu itu saya rada ngedumel :
”Walah, sekolahmu itu koq ketinggalan jaman bener sih. Laskar Pelangi aja belum punya? Filmnya aja udah keluar.”

Di gramedia, saya menemukan 5 buku, salah satunya buku yang saya yakin betul ‘LP’. Gimana nggak? Perhatikan deh cover ‘Rumah Pelangi’ (RP) itu. Nggak ada bedanya dengan cover ‘LP’. Mulai dari desain sampul sampai jenis font judulnya dan warnanya. Karena memang terburu-buru, saya nggak periksa lagi tuh buku karena yakin kalau itu ‘LP’.

Pas di kasir, saya baru nyadar kalau buku yang saya ambil itu bukan ‘Laskar Pelangi’. Sempat kepikiran mau mengembalikan, tapi begitu saya lihat tulisan di atasnya ‘Memoar Seorang Guru di Tengah Basis Kaum Komunis’ saya memutuskan tetap membelinya. Aduh, benar-benar berhasil tuh lay outer RP menjebak konsumen.

Dalam hati saya complain bener pada layouter buku ini.
“Bener-benar kehabisan ide nih orang. Masa nggak bisa cari desain lain? Apa sengaja, ingin mendompleng kejayaan LP?”

Rumah Pelangi adalah memoar seorang wanita bernama Samsikin yang berprofesi sebagai guru. Dia lahir dari keluarga penganut paham komunis, namun teguh menjalani profesi sebagai guru dan tidak ikut-ikutan dengan aliran yang ditekuni beberapa orang keluarganya.

Berbeda dengan judulnya, buku ini sama sekali tidak menceritakan tentang ‘rumah pelangi’ *karena saya pun bingung apa maksudnya memakai kata-kata itu sebagai judul.* Kisah Samsikin justru fokus pada kehidupan cintanya sebagai seorang wanita Jawa dan karirnya sebagai seorang guru di desa. Berpisah dengan kekasih karena tidak direstui saudaranya, lalu patah hati, kemudian menikah dengan seorang laki-laki sederhana, santun dan patuh pada agama. Keduanya kebetulan sama-sama berprofesi sebagai guru.

Anda akan kecewa sekali *seperti saya* jika berharap menemukan kisah perjuangan seorang guru di sarang komunis. Penulis hanya menyinggung secara umum soal aliran komunis dan keadaan sosial politik saat itu (di tahun 60 an) pada bagian epilog. Saya sampai geleng-geleng kepala, nggak hanya covernya yang ‘menjebak’, isinya juga.

Anyway, tetap salut buat penulisnya. Bagaimanapun, menulis itu tetaplah pekerjaan mulia. Buktinya, walau sambil ngomel, selesai juga saya baca tuh buku. Saya suka pada bagian-bagian dia menceritakan bagaimana dia merubah metode belajar di sekolahnya. Andai semua guru seperti Samsikin, hmmm.....asik juga.

Tidak ada buku yang tidak layak untuk dibaca, termasuk buku ini....:)